SEJARAH PERADABAN ISLAM DI BANTEN
A.
KEADAAN
BANTEN PRA ISLAM
Daerah Banten
memiliki beberapa data arkeologi dan sejarah dari masa sebelum Islam masuk ke
daerah ini, sumber data arkeologi menujukan bahwa sebelum Islam masyarakat
Banten hidup pada masa tradisi prasejarah dan tradisi Hindu-Buddha. Tradisi
prasejarah ditandai oleh adanya alat-alat kehidupan sehari-hari dan kepercayaan
yang mereka anut, demikian pula dengan masa kehidupan Hindu dan Buddha ditandai
oleh peninggalan Hindu masa itu berupa prasasti arca Nandi dan benda-benda
arkeologi lainnya, serta naskah-naskah kuno yang mencatat keterangan tentang
kehidupan masyarakat pada masa itu.
Selain itu di
Banten terdapat sisa-sisa kebudayaan megalitik tua (4500 SM hingga awal masehi)
seperti menhir di lereng gunung Karang di Padeglang, dolmen dan patung-patung
simbolis dari desa Sanghiang Dengdek di Menes, kubur tempayan di Anyer, kapak batu
di Cigeulis, batu bergores di Ciderasi desa Palanyar Cimanuk dan lain
sebagainya.Penggunaan alat-alat kebutuhan yang dibuat dari perunggu yang
terkenal dengan kebudayaan Dong Son (500-300 SM) juga mempengaruhi penduduk
Banten. Hal ini terlihat dengan ditemukannya kapak corong terbuat dari perunggu
di daerah Pamarayan, Kopo Pandeglang, Cikupa, Cipari dan Babakan Tanggerang. Selain bukti arkeologi berupa arca Siwa dan Ganesha ini
belum ada lagi data sejarah yang cukup kuat untuk menunjang keberadaan kerajaan
Salakanagara ini yang lebih jelas, adapun prasasti Munjul yang ditemukan
terletak disungai Cidanghiang.
Lebak Munjul
Pandegalng adalah prasasti yang bertuliskan Pallawa dengan bahasa Sangsekerta
menyatakan bahwa raja yang berkuasa di daerah ini adalah Purnawarman, ini
berarti bahwa daerah kekuasaan Tarumanegara sampai juga ke daerah Banten,
karena kerajaan Tarumanegara pada masa itu berada dalam keadaan
makmur dan jaya.
Pada awal abad
ke XVI, di Banten yang berkuasa adalah Prabu Pucuk Umun, dengan pusat
pemerintahan Kadipaten di Banten Girang sedangkan Banten Lama hanyalah
berfungsi sebagai pelabuhan saja.Untuk menghubungkan antara Banten Girang
dengan pelabuhan Banten, dipakai jalur sungai Cibanten yang pada waktu itu
masih dapat dilayari. Tapi disamping itu pula masih ada jalan darat yang dapat
dilalui yaitu melalui jalan Kelapa Dua.
B. LATAR
BELAKANG ISLAM DI BANTEN
Penyebaran
Islam di Banten dilakukan oleh Syarif Hidayatullah, pada tahun 1525 M dan 1526
M. Seperti di dalam naskah Purwaka
Tjaruban Nagari disebutkan bahwa Syarif Hidayatullah setelah belajar di
Pasai mendarat di Banten untuk meneruskan penyebaran agama Islam yang
sebelumnya telah dilakukan oleh Sunan Ampel. Pada tahun 1475 M, beliau menikah
dengan adik bupati Banten yang bernama Nhay Kawunganten, dua tahun kemudian
lahirlah anak perempuan pertama yang diberinama Ratu Winahon dan pada tahun
berikutnya lahir pula pangeran Hasanuddin. Setelah Pangeran Hasanuddin
menginjak dewasa, syarif Hidayatullah pergi ke Cirebon mengemban tugas sebagai
Tumenggung di sana. Adapun tugasnya dalam penyebaran Islam di Banten diserahkan
kepada Pangeran Hasanuddin, di dalam usaha penyebaran agama Islam Ini Pangeran
Hasanuddin berkeliling dari daerah ke daerah seperti dari G. Pulosari, G.
Karang bahkan sampai ke Pulau Panaitan di Ujung Kulon. Sehingga
berangsur-angsur penduduk Banten Utara memeluk agama Islam.
Karena semakin besar
dan maju daerah Banten, maka pada tahun 1552 M, Kadipaten Banten dirubah
menjadi negara bagian Demak dengan Pangeran Hasanuddin sebagai Sultannya. Atas
petunjuk dari Syarif Hidayatullah pusat pemerintahan Banten dipindahkan dari
Banten Girang ke dekat pelabuhan di Banten Lor yang terletak dipesisir utara
yang sekarang menjadi Keraton Surosowan. Pada tahun 1568 M, saat itu Kesultanan
Demak runtuh dan digantikan oleh Panjang, Barulah Sultan Hasanuddin
memproklamirkan Banten sebagai negara merdeka, lepas dari pengaruh Demak atau
pun Panjang. Disamping itu Banten juga menjadi pusat penyebaran agama Islam,
banyak orang-orang dari luar daerah yang sengaja datang untuk belajar, sehingga
tumbuhlah beberapa perguruan Islam di Banten seperti yang ada di Kasunyatan.
Ditempat ini berdiri masjid Kasunyatan yang umurnya lebih tua dari masjid Agung
Banten. Disinilah tempat tinggal dan mengajarnya Kiayi Dukuh yang bergelar
Pangeran Kasunyatan guru dari Pangeran Yusuf.
Kerajaan Islam di Banten Saat itu lebih
dikenal oleh masyarakat Banten dan sekitarnya dengan sebutan Kesultanan Banten.
Kesultanan Banten telah mencapai masa kejayaannya dimasa lalu dan telah
berhasil merubah wajah sebagian besar masyarakat Banten. Pengaruh yang besar
diberikan oleh Islam melalui kesultanan dan para ulama serta mubaligh Islam di
Banten seperti tidak dapat disangsikan lagi dan
penyebarannya melalui jalur politik, pendidikan, kebudayaan dan ekonomi di masa
itu.
C. PROSES
ISLAMISASI.
Proses perluasan Islam di Banten lebih banyak dikisahkan
melalui gerbang Jawa Barat yakni Cirebon. Proses ini menjadi mungkin karena
kondisi kekuasaan politik yang kuat waktu itu di Jawa adalah Jawa Tengah.
Tetapi islamisasi Indonesia melalui pintu barat. Oleh karena itu mempunyai kemungkinan
besar bila masuknya islam dari pintu gerbang Barat. Dalam hal ini mungkin dari
pelabuhan Sunda Kelapa ataupun Banten. Perlu ditambahkan disini bahwa
penyebaran Islam melalui jalur perniagaan, sehingga tidak pernah terjadi agresi
militer maupun agama. Dalam penyebaran ini Islam tidak mengenal adanya
organisasi missi ataupun semacam zending. J.C Van Leur dalam hal ini
menjelaskan bahwa setiap pedagang Islam merangkap sebagai da’i. Itulah sebabnya
masuk dan meluasnya Islam di Indonesia melalui jalur perniagaan.
D. PENDIRI
AGAMA ISLAM DI BANTEN
1.
FATAHILAH ( WAFAT PADA TAHUN 1570 )
Kerajaan Banten
muncul ketika seorang anak muda Pasai keturunan Makkah yang datang ke Demak
untuk mengabdi kepada Sultan Trenggono. Dia diangkat menjadi panglima perang,
dan mendapat hadiah menikah dengan adik nya Sultan Demak. Dia adalah panglima
perang dalam penaklukan kota Banten yang di kuasai oleh Portugis yaitu Syarif
Hidayatullah atau Maulana Nuruddin Ibrahim. Dia adalah ayah dari Sultan
Hasanuddin Raja pertama dari kerajaan Banten. Dia juga peletak dasar
pengembangan agama Islam dan kerajaan Islam serta bagi pedagang orang – orang
di sana. Keberhasilan nya menaklukan kota Banten maka dia mendapat gelar dari
Sultan Trenggono yaitu Fatahilah dan oleh bangsa Portugis di sebut Falatehan.
Dalam kemenangan ini dia mensyukuri dengan memberi nama baru, Kota Sunda Kelapa
dengan Jayakarta yang artinya kemenangan. Dalam eksfedisi nya dia memilih yang pertama
agar jalan menjadi lancar. Dia berhasil dengan gilang-gemilang yang arti nya
kota itu sangat penting karena sebagai batu loncatan untuk menancapkan kaki ke
pantai sebelah selatan Sumatera (Lampung dan Palembang).[1]
Dalam masa
kepemimpinan nya, Fatahilah mencanang kan menguasai kunci-kunci kota dan
menyebar kan agama Islam dimana kota yang ia duduki. Semua yang Fatahilah
canangkan mencapai pada puncak kesuksesan walaupun beribu halangan tetapi tidak
membuat dia gentar. Dia juga tidak menguasai kota Banten tetapi juga Jakarta,
Cirebon dan juga mendapat sebutan penguasa besar Jawa Barat. Kerajaan yang dia
duduki masih di bawah naungan Kerajaan Demak. Dan dia juga berjasa menjadikan
pelabuhan Banten ramai di datangi saudagar-saudagar dari luar negeri sehingga
ekonomi rakyat makmur, dalam penyebaran agama sukses.
Fatahilah wafat
pada tahun 1570 M. Dia menyerahkan kepemimpinan nya kepada putera nya
Hasanuddin, tapi sebelumnya dia sudah mengundurkan diri dari kerajaan dan mendirikan
sebuah tempat pendidikan yang bernama Gunung Jati (Cirebon) dan di bukit itu
pula dia di makam kan.[2]
2.
SULTAN MAULANA HASANUDDIN (
1552-1570 M )
Sultan Maulana Hassanudin memerintah sebagai raja pertama
Kesultanan Banten dari tahun 1552 M hingga wafatnya di tahun 1570 M. Pada masa
pemerintahannya, digambarkan kota Banten telah berkembang sangat pesat. Jumlah
penduduk diperkirakan telah mencapai 70.000 jiwa. Terletak di pertengahan
pesisir teluk Banten, Kota yang dikenal dengan nama Surosowan ini memiliki
panjang 400 hingga 850 depa. Kota Banten dilewati sungai jernih yang dapat
dilalui oleh kapal jung dan gale. Kota Banten dikelilingi benteng bata setebal
tujuh telapak tangan. Bangunan-bangunan pertahanan dua lantai terbuat dari kayu
dan dilengkapi dengan meriam. Di tengah kota terdapat alun alun yang digunakan
untuk kegiatan ketentaraan, kesenian rakyat dan juga sebagai pasar di pagi
hari. Istana raja terletak di sisi selatan alun alun, disampingnya dibangun
bangunan datar yang ditinggikan dan diatapi yang disebut srimanganti, sebagai
tempat raja bertatap muka dengan rakyat. Di sebelah barat alun alun dibangunlah
Masjid Agung Banten.
Sultan
Hassanudin dalam usahanya membangun dan mengembangkan kota Banten lebih menitik
beratkan pada pengembangan sektor perdagangan, disamping memperluas lahan
pertanian dan perkebunan. Pada masa pemerintahannya, Banten telah menjadi
pelabuhan utama di Nusantara, sebagai persinggahan utama dan penghubung
pedagang pedagang dari Arab, Parsi, Cina, dengan kerajaan kerajaan di
Nusantara. Cara jual beli saat itu, masih menggunakan sistem barter, dan juga
sudah mulai digunakan mata uang sebagai alat tukar. Mata uang yang digunakan
adalah Real Banten dan cash cina (caxa). Terjadinya krisis kepemimpinan di
Kesultanan Demak pada tahun 1547-1568 M, mendorong Sultan Hassanudin untuk
melepaskan diri dari Kesultanan Demak dan menjadikan Banten kerajaan yang
berdiri sendiri. Saat itu, wilayah Kesultanan Banten telah meliputi Banten,
Jayakarta, Kerawang, Lampung, Inderapura, sampai Solebar. Dan itulah sebabnya
dia di anggap sebagai raja Islam pertama di Banten.[3]
Sultan Hassanudin wafat tahun 1570 M dan dimakamkan di
samping Masjid Agung. Setelah wafatnya, Maulana Hassanudin dikenal dengan sebutan
Sedakinking. Sebagai penggantinya, dinobatkanlah Pangeran Yusuf sebagai Raja
Banten ke 2.
3. SULTAN
MAULANA YUSUF (1570-1580 M)
Pada masa kepemerintahan Sultan Maulana Yusuf, strategi
pembangunan dititik beratkan pada pengembangan kota, keamanan wilayah,
perdagangan dan pertanian. Pada saat itu, perdagangan sudah sangat maju
sehingga Banten merupakan tempat penimbunan barang barang dari seluruh dunia
yang nantinya akan disebarkan ke seluruh nusantara. Dengan majunya perdagangan
maritim di Banten, maka kota Surosowan dikembangkan menjadi kota pelabuhan
terbesar di Jawa. Ramainya kota baru ini dengan penduduk pribumi maupun
pendatang membuat diberlakukannya aturan penataan dan penempatan penduduk
berdasarkan keahlian dan asal daerah penduduk. Perkampungan untuk orang asing
biasanya ditempatkan di luar tembok kota, seperti Pekojan yang diperuntukan
bagi pedagang muslim dari kawasan Arab ditempatkan di sebelah barat pasar
Karangantu, Pecinan yang diperuntukan bagi pendatang dari Cina ditempatkan di
sebelah barat Masjid Agung, di luar batas kota. Penataan pengelompokan
pemukiman ini selain bertujuan untuk kerapian dan keserasian kota juga untuk
kepentingan keamananan, dan merupakan upaya penyebaran dan perluasan kota.
Selain penataan pemukiman, juga dilakukan perkuatan dan penebalan tembok
keliling kota dan tembok benteng sekeliling istana. Tembok benteng diperkuat
dengan lapisan luar yang terbuat dari bata dan batu karang dengan parit parit
disekelilingnya. Perbaikan Masjid Agung juga dilakukan dan penambahan
bangunan menara dengan bantuan Cek Ban Cut, arsitek muslim asal Mongolia.
Untuk kepentingan irigasi bagi persawahan yang berada di
sekitar kota dan untuk pemenuhan kebutuhan air bersih bagi kota Surosowan, di
buatlah danau buatan yang dinamakan Tasikardi. Air dari sungai Cibanten
dialirkan melalui terusan khusus ke danau ini, yang kemudian disalurkan ke
daerah daerah sekitar danau. Dengan melalui pipa-pipa terakota, setelah
diendapkan di Pengindelan Abang dan Pengindelan Putih, air yang sudah jernih
dialirkan ke keraton dan tempat tempat lain di dalam kota. Di tengah danau
buatan ini juga dibuat pulau kecil yang digunakan sebagai tempat rekreasi
keluarga keraton.Pada tahun 1579 M Pasukan Banten di bawah pimpinan Sultan
Maulana Yusuf berhasil merebut Pakuan, ibukota Kerajaan Pajajaran dan menguasai
seluruh wilayah bekas kerajaan Pajajaran. Raja terakhir yang memerintah
Kerajaan Pajajaran adalah Raga Mulya atau Prabu Surya Kencana, yang juga
dijuluki Prabu Pucuk Umun atau Panembahan Pulosari, karena pada akhir masa
kepemerintahannya berkedudukan di gunung Pulosari, Pandeglang. Benteng Pulosari
dapat dikuasai oleh Sultan Maulana Yusuf pada tanggal 8 Mei 1579/11 Rabiul Awal
987 H. Setelah berhasil dikalahkan, seluruh punggawa kerajaan Pajajaran
diislamkan dan dibiarkan kembali memangku jabatannya sehingga dapat menjamin
stabilitas keamanan di seluruh wilayah Banten.
Sultan Maulana Yusuf wafat pada tahun 1580 M dan dimakamkan
di Pakalangan Gede dekat kampung Kasunyatan sekarang, dan karenanya beroleh
gelar Pangeran Panembahan Pakalangan Gede atau Pangeran Pasarean. Sebagai
pengganti, diangkatlah putranya, Pangeran Muhammad yang pada waktu itu baru
berusia 9 tahun.[4]
4. SULTAN
MAULANA MUHAMMAD (1580-1596)
Keadaan Banten padamasa Sultan Maulana Muhammad dapat
diketahui berdasarkan kesaksian Willem Lodewycksz yang mengikuti Cornelis de
Houtman yang mendarat di pelabuhan Banten tahun 1596. Dari catatan mereka
diketahui bahwa Kota Banten mempunyai tembok tembok yang lebarnya lebih dari
depa orang dewasa dan terbuat dari bata merah. Diperkirakan besarnya sebesar kota
Amsterdam tahun 1480 M dan orang dapat melayari seluruh kota Banten melalui
banyak sungai. Setiap kapal asing yang hendak berlabuh di Bandar Banten
diharuskan melalui semacam pintu gerbang dan membayar bea masuk. Transaksi
perdagangan di pasar ini berjalan mudah karena mata uang dan pertukaran mata
uang (money changer) sudah dikenal. Maulana Muhammad terkenal sebagai orang
yang saleh. Untuk kepentingan penyebaran agama Islam, beliau banyak mengarang
kitab agama Islam dan membangun masjid hingga ke pelosok negeri. Sultan juga
menjadi khatib dan imam untuk setiap shalat Jum’at dan Hari Raya. Pada masa
kepemimpinannya, Masjid Agung diperindah dengan melapisi dinding dengan keramik
dan kolomnya dengan kayu cendana, untuk tempat shalat perempuan disediakan
tempat khusus yang disebut pawastren atau pawadonan.
Sultan Maulana Muhammad wafat pada tahun 1596 pada saat
penyerangan ke Palembang, perang yang dimulai akibat bujukan Pangeran Mas,
keturunan dari Kerajaan Demak yang ingin menjadi Raja Palembang. Sultan
tertembak ketika memimpin pasukan dari kapal Indrajaladri di Sungai Musi.
Sultan Maulana Muhammad wafat di usia 25 tahun, dimakamkan di serambi Masjid
Agung dan beroleh gelar Pangeran Seda ing Palembang atau Pangeran Seda ing
Rana. Sultan meninggalkan putra yang baru berusia lima bulan, yaitu Abul
Mafakhir, yang ditunjuk sebagai penggantinya
5. SULTAN
ABUL MAFAKHIR (1596-1651 M)
Sultan Abul Mafakhir yang baru berusia lima bulan, untuk
menjalankan roda pemerintahan maka ditunjuklah Mangkubumi Jayanegara, seorang
tua yang lemah lembut dan luas pengalamannya dalam pemerintahan sebagai
walinya. Masa awal pemerintahan Sultan yang masih balita ini merupakan masa
masa pahit dalam sejarah Kesultanan Banten karena banyaknya perpecahan dalam
keluarga kerajaan, dengan berbagai kepentingan yang berbeda serta keinginan
untuk merebut tahta kerajaan. Pada saat Mangkubumi Jayanegara wafat di tahun
1602 M, perwalian dikembalikan ke ibunda sultan, Nyai Gede Wanagiri. Nyai Gede
Wanagiri yang telah menikah kembali, mendesak agar suami barunya ditunjuk
sebagai Mangkubumi. Mangkubumi yang baru ini, dalam kenyataannya banyak
menerima suap dari pedagang asing, sehingga tidak memiliki wibawa dan
keputusannya lebih banyak tidak ditaati. Kekacauan di dalam negeri
semakin membesar dan tidak dapat ditangani karena Mangkubumi lebih sibuk
mengurus keributan yang ditimbulkan oleh pedagang Belanda dengan pedagang
Inggris, Portugis, maupun pedagang dalam negeri.
Puncak dari kekacauan itu adalah dibunuhnya Mangkubumi, yang
memicu terjadinya perang saudara yang dikenal dengan nama Perang Pailir, yang
terjadi di tahun 1608 – 1609 M. Perang untuk memperebutkan tahta yang
dilancarkan oleh Pangeran Kulon, saudara sultan lain ibu ini, dapat dihentikan
atas usaha Pangeran Jayakarta hingga dibuat perjanjian perdamaian antara semua
pihak. Salah satunya adalah diangkatnya Pangeran Ranamanggala sebagai
Mangkubumi dan wali dari sultan muda, semenjak itu Banten menjadi aman kembali.
Pangeran Ranamanggala adalah putra Maulana Yusuf, saudara beda ibu dengan
Sultan Maulana Muhammad. Selama menjabat sebagai Mangkubumi, tindakan utama
yang diambil adalah mengembalikan stabilitas keamanan Banten dan menegakan
peraturan untuk kelancaran pemerintahan, yang bahkan Sultan sendiri tidak
diperkenankan untuk ikut campur. Dengan cara demikian, Banten dapat
terselamatkan dari kehancuran akibat rongrongan dari dalam maupun luar negeri.
Mangkubumi dalam menghadapi bangsa asing tidak berat sebelah atau memihak pihak
manapun. Beberapa kebijakan penting yang diambil :
- Penghapusan
keharusan bagi pedagang Cina untuk menjual lada kepada pedagang Belanda
- Penetapan
pajak ekspor lada dan pajak impor bagi barang barang yang sebelumnya tidak
terkena pajak
- Pemberlakuan
pajak yang lebih tinggi bagi pedagang dari Belanda. Hal ini dilakukan agar
pedagang dari Belanda tidak berniaga di Banten karena perilaku pedagang
Belanda yang kasar dan mau mencampuri urusan pemerintahan dan dalam negeri
Banten.
6. SULTAN
AGENG TIRTAYASA (1651-1682 M)
Pada zaman Sultan Ageng Tirtayasa, Banten merupakan Kesultanan
Nusantara yang mempunyai hubungan internasional, baik dengan Kesultanan Aceh
yang mendapat gelar Serambi Makkah atau pun Kesultanan Mughal di India. Bahkan,
Sultan Ageng Tirtayasa mendapat gelar Sultan Haji karena ia menunaikan ibadah
haji, gelar yang pertama kali di miliki raja Jawa. Baru pada tahun 1645 M raja
Mataram dan selanjutnya di susul raja Makasar, keduanya mendapat gelar Sultan.
Di bawah kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa, kerajaan Banten adalah kerajaan
yang paling ketat melaksana kan hukum Islam. Di masa Sultan Ageng, di
berlakukan hukum potong tangan kanan selanjutnya potong tangan kiri untuk
pencurian harta secara berturut-turut senilai sekurang-kurang nya satu gram
emas.[5]
Sultan Ageng mempunyai mufti Syaikh Yusuf al-Makasari yang melihat dari nama
nya, berasal dari Makasar. Sejak muda, Sultan Ageng (yang waktu itu masih putra
mahkota) bersahabat dengan Muhammad Yusuf yang sesudah belajar di kampungnya
sendiri di Makasar, singgah di Banten dan kemudian belajar ke Aceh selanjutnya ke
Makkah selama ± 30 tahun. Sekembalinya di Indonesia, Kerajaan Makassar telah di
kalah kan oleh Belanda, maka Yusuf yang telah menjadi ulama besar di minta
untuk menjadi mufti di Banten sekaligus menjadi menantu sahabat nya, Sultan
Ageng Tirtayasa. Di Banten, selain melaksanakan hukum potong tangan terhadap
pencuri juga menghukum orang yang menggunakan opiumdan tembakau. Hukuman berat
juga di laksanakan terhadap pelaku pelanggaran seksual.
Demikian lah keberagaman kerajaan Banten beserta pelaksanaan
syariat Islam kelihatan lebih ketat di bandingkan kerajaan Islam lain nya di
Jawa. Ini terjadi karena Banten yang mempunyai hubungan internasional dengan
Negara Islam besar, sehingga menjadi tempat persinggahan dan transaksi
perdagangan internasional. Bangsa lain yang berdagang di Banten antara lain
Persia, Arab, Keling, Koja, Pegu, Cina, Melayu. Walaupun kedudukan Banten nanti
kalah dengan Jayakarta (yang kemudian menjadi Batavia) yang di jadikan pusat
perdagangan oleh Belanda, sehingga Banten menjadi mundur, Sultan Ageng di tawan
Belanda, Syaikh Yusuf di buang, tetapi pelaksanaan syariat Islam masih tetap
ketat. Ketika pada tahun 1813 Kesultanan Banten di bumihanguskan oleh Daendels,
keturunan Sultan Ageng masih terus mengembang kan syariah Islam, salah seorang di
antaranya adalah Al-Nawawi al-Bantani (1813-1897 M)[6]
yang melahirkan murid-murid yang menjadi ulama-ulama besar di Jawa, di antara
nya:
·
K.H.
Hasyim Asyari, Pendiri NU Tebuireng
·
K.H.
Asyari, Bawean, menantu Nawawi
·
K.H.
Ilyas, Keragilan Serang
·
K.H
Abd. Gaffar, Tirtayasa, Serang, dll.
Walaupun kelak Banten sebagai Kesultanan resmi telah hancur,
tetapi keturunannya di luar istana tetap mengembang kan berbagai kegiatan agama
baik mendiri kan pesantren ataupun pengiriman putra-putrinya memperdalam ilmu
agama ke Makkah. Oleh karena itu, Snouck Hurgronje menyebut penduduk Banten
lebih taat dalam melaksanakan kewajiban agamanya di bandingkan orang Jawa
lainnya.[7]
[1] Hamka, Sejarah Umat Islam IV, Bulan Bintang, Jakarta, 1976, hlm. 185.
[2] H. J. De Graff dan TH. Pigeud, kerajaan Islam Pertama di Jawa, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 2001, hlm 133-134
[3]
Hamka, Sejarah Umat Islam IV, Bulan
Bintang, Jakarta, 1976, hlm. 186.
[4]
http://sejarah-peradaban-islam-di-banten.html
[5] Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Di Indonesia,
Rajawali Pers, Jakarta, 2004, hlm. 142
[6] Rifa’I Hasan, Warisan Intelektual Islam Indonesia,
Telaah Atas Karya Klasik, Bandung: Mizan, 1987, hlm. 39.
[7] Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Di Indonesia,
Rajawali Pers, Jakarta, 2004, hlm. 145